Bermain Catur dalam Pandangan Islam
Kata ulama salaf, jika engkau tidak disibukkan dengan ketaatan
pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang sia-sia. Perkataan ulama ini
menandakan bahwa Islam sangat menghargai waktu. Jika hanya termenung menunggu
hingga ‘skak – ster’, tanpa ada faedah manfaat, maka tentu hal ini sia-sia.
Apalagi jika permainan semacam itu meninggalkan kewajiban semisal shalat lima
waktu, maka tentu dihukumi haram.
Pembahasan
kali ini akan mengupas permasalahan seputar hukum bermain catur. Moga bisa jadi
renungan.
Hukum Bermain Catur
Mengenai
hukum bermain catur, dapat dirinci menjadi dua:
1. Jika bermain catur sampai meninggalkan
kewajiban dan berisi perbuatan yang haram, maka hukumnya haram berdasarkan
kesepakatan para ulama.
Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata,
وَكَذَلِكَ يَحْرُمُ بِالْإِجْمَاعِ إذَا اشْتَمَلَتْ عَلَى
مُحَرَّمٍ : مِنْ كَذِبٍ وَيَمِينٍ فَاجِرَةٍ أَوْ ظُلْمٍ أَوْ جِنَايَةٍ أَوْ
حَدِيثٍ غَيْرِ وَاجِبٍ وَنَحْوِهَا
“(Bermain
catur) itu diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan
para ulama) jika di dalamnya terdapat keharaman seperti dusta, sumpa palsu,
kezholiman, tindak kejahatan, pembicaraan yang bukan wajib” (Majmu’ Al Fatawa,
32: 245).
Jika
demikian, jika bermain catur sampai melalaikan dari shalat lima waktu dan
berjama’ah di masjid –bagi pria-, dalam kondisi ini permainan catur dihukumi
haram. Dan inilah kebanyakan yang terjadi. Karena sibuk memikirkan strategi,
pikirannya dihabiskan berjam-jam sehingga akhirnya meninggalkan shalat.
2. Jika tidak sampai melakukan yang haram atau
meninggalkan kewajiban, maka terdapat khilaf atau
perbedaan pendapat di antara para ulama.
Pendapat
pertama, hukumnya tetap haram. Demikian pendapat mayoritas ulama dari ulama
Hambali, Malikiyah, Hanafiyah dan fatwa dari ulama saat ini seperti Syaikh
Muhammad bin Ibrahim dan fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal
Ifta’.
Pendapat
kedua, hukumnya tidak haram. Demikian disebutkan oleh sebagian ulama Syafi’iyah
dan diikuti ulama belakangan seperti Yusuf Qordhowi dalam kitabnya Al Halal wal Haram.
Dalil ulama
yang mengharamkan adalah sebagai berikut.
ملعون من لعب بالشطرنج والناظر إليها كالآكل لحم الخنزير
“Sungguh terlaknat siapa yang bermain catur dan
memperhatikannya, ia seperti orang yang memakan daging babi”
(Disebutkan dalam Kunuzul ‘Amal 15: 215) Namun hadits ini mengandung cacat dari
dua sisi: (1) mursal dan (2) majhulnya satu orang perowi yaitu Habbah bin
Muslim. Sehingga hadits ini dho’if.
Begitu pula hadits-hadits yang membicarakan haramnya catur tidak keluar dari
hadits yang dho’if dan palsu (Demikian disebutkan oleh guru kami Syaikh Dr.
Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam kitab beliau Al Musabaqot hal.
227).
Dalil yang
lain adalah perkataan ‘Ali bin Abu Tholib berikut:
عَنْ مَيْسَرَةَ بْنِ حَبِيبٍ قَالَ : مَرَّ عَلِىُّ بْنُ
أَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى قَوْمٍ يَلْعَبُونَ بِالشَّطْرَنْجِ
فَقَالَ (مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِى أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ)
Dari
Maysaroh bin Habib, ia berkata, “’Ali bin Abu Tholib
radhiyallahu ‘anhu pernah melewati suatu kaum yang sedang bermain catur. Lantas
ia berkata, “Apa geragangan dengan patung-patung yang kalian i’tikaf –atau
berdiam lama- di depannya?” (HR. Al Baihaqi 10: 212). Imam Ahmad
berkata bahwa inilah hadits yang paling shahih dalam bab ini.
Sedangkan
ulama yang membolehkan permainan catur beralasan bahwa Asy Sya’bi –ulama
terkemuka di masa silam- pernah bermain catur. Dan hukum asal segala sesuatu
adalah halal sampai ada
dalil tegas yang mengharamkannya.
Pendapat yang terkuat dalam hal ini adalah yang
mengharamkan catur dengan alasan:
1. Meskipun
hadits yang melarang adalah dho’if, namun terdapat dalil dari perkataan ‘Ali
bin Abi Tholib yang berisi pengingkaran beliau. Inilah pemahaman secara
tekstual dari dalil tersebut.
2. Buah
catur tidak ubahnya seperti patung yang memiliki bentuk. Sebagaimana diketahui
bahwa memiliki gambar atau patung hukumnya adalah haram, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ
“Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar
di dalamnya (yaitu gambar makhluk yang memiliki ruh)” (HR. Bukhari
3224 dan Muslim no. 2106). Patung catur termasuk dalam gambar tiga dimensi dan
terlarang pula berdasarkan hadits ini. Demikian alasan dari Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah.
3. Ulama yang
membolehkan catur memberikan syarat: (1) tidak sampai berisi keharaman seperti judi dengan memasang taruhan, perkataan
sia-sia atau celaan, dan dusta, (2) tidak sampai meninggalkan kewajiban seperti
meninggalkan shalat. Namun syarat ini jarang dipatuhi oleh pemain catur
sebagaimana kata guru kami, Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah ketika
membantah pernyataan Yusuf Qordhowi dalam Al Halal wal
Haram yang membolehkan permainan catur. Jika syarat di atas jarang dipatuhi, bagaimana mungkin kita
katakan boleh-boleh saja bermain catur?
Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata,
“Permainan catur tetap dinilai haram oleh mayoritas ulama meskipun tidak
terdapat hal-hal yang terlarang. Dilarang demikian karena catur sering melalaikan dari berdzikir pada Allah, melalaikan dari shalat,
menimbulkan permusuhan dan kebencian dan hal ini berbeda
dengan permainan dadu apabila dadu tersebut disertai adanya taruhan. Namun jika
permainan catur dan dadu sama-sama memakai taruhan, catur dinilai lebih jelek”
(Majmu’ Al Fatawa, 32: 245).
Bermain Catur Termasuk Maysir
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi (maysir), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90). Maysir sebenarnya lebih umum dari berjudi.
Kata Imam
Malik rahimahullah, “Maysir ada dua macam: (1) bentuk
permainan seperti dadu, catur dan berbagai bentuk permainan yang melalaikan,
dan (2) bentuk perjudian, yaitu yang mengandung unsur spekulasi atau
untung-untungan di dalamnya.” Bahkan Al Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr memberikan
jawaban lebih umum ketika ditanya mengenai apa itu maysir. Jawaban beliau,
“Setiap yang melalaikan dari dzikrullah (mengingat Allah) dan dari shalat,
itulah yang disebut maysir.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 39: 406).
Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata,
“Permainan catur termasuk kemungkaran sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ali,
Ibnu ‘Umar dan sahabat lainnya. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad
dan selainnya bersikap keras dalam hal ini, sampai-sampai mereka mengatakan,
“Tidak boleh menyalami para pemain catur karena mereka nyata-nyata menampakkan
maksiat.” Sedangkan murid-murid Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak mengapa
jika menyalami mereka” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 245).
Sebagai
penutup kami sampaikan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ
يَعْنِيهِ
“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal
yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Jika Anda
ingin baik, maka jauhilah hal yang tidak bermanfaat. Moga Allah beri taufik dan
hidayah.
Sumber : muslim.or.id