Cerita Imam Junaid Kepada Orang yang Pulang Haji
Sahabat dunia islam,
suatu kebahagiaan bagi kaum muslim bisa melaksanakan rukun islam yang kelima
yaitu melaksanakan ibadah haji. Menjadi haji mabrur adalah dambaan bagi orang yang telah
melaksanakan ibadah haji, tetapi ada di antara kita setelah melaksanakan ibadah
haji, sifat atau perbuatan tidak berubah, sama seperti sebelum melaksanakan
haji.
Mungkin cerita
ini bisa menjadi inspirasi bagi kita apa itu esensi melaksanakan ibadah haji
agar menjadi haji mabrur. Suatu ketika Imam Junaid al-Baghdadi mendapat
kunjungan dari seseorang yang baru saja pulang menunaikan haji. Meski ritual
haji telah ia jalani, orang ini belum menunjukkan perubahan perilaku apa-apa
dalam hidupnya.
“Dari mana
Anda?” tanya Imam Junaid.
”Saya baru saja
pulang dari ibadah haji ke Baitullah?” orang itu menimpali.
”Jadi, Anda
benar-benar telah melaksanakan ibadah haji?”
”Tentu, Imam.
Saya telah menunaikan haji.”
”Apakah Anda
sudah janji akan meninggalkan dosa-dosa Anda saat meninggalkan rumah untuk
pergi haji?”
“Tidak, Imam.
Saya tidak pernah memikirkan hal itu.”
“Anda sejatinya
tak pernah melangkahkan kaki untuk haji,” tegas Imam Junaid. “Saat Anda berada
dalam perjalanan suci dan berhenti di suatu tempat semalaman, apakah Anda
memikirkan tentang usaha mencapai kedekatan dengan Allah?”
“Itu semua tak
terlintas di benak saya.”
“Berarti Anda
tidak pergi menuju Ka’bah, tidak pula pernah mengunjunginya.”
“Saat Anda
mengenakan pakaian Ihram dan melepas semua pakaian yang biasa Anda kenakan,
apakah Anda sudah berketetapan untuk membuang semua cara dan perilaku buruk
Anda, menjadi pribadi lebih baik?” tanya Imam Junaid lagi.
“Tidak, Imam.
Saya juga tak pernah berpikir demikian.”
“Berarti Anda tidak
pernah mengenakan pakaian ihram,” Imam Junaid menyayangkan. ”Saat Anda Wuquf
(berdiam diri) di padang Arafah dan bersimpuh memohon kepada Allah, apakah Anda
merasakan bahwa Anda sedang wuquf dalam Kehadiran Ilahi dan menyaksikan-Nya?”
”Tidak. Saya tak
mendapat pengalaman (spiritual) apa-apa.”
Imam Junaid
sedikit kaget, ”Baiklah, saat Anda datang ke Muzdalifah, apakah Anda berjanji
akan menyerahkan nafsu jamaniah.
“Imam, saya pun
tak memikirkan hal itu.”
“Berarti Anda
sama sekali tak mengunjungi Muzdalifah.” Lantas Imam Junaid bertanya, “O, kalau
begitu, ceritakan kepadaku Keindahan Ilahi apa yang Anda tangkap sekilas saat
Thawaf, mengitari Ka’bah.”
“Tidak ada,
Imam. Sekilas pun saya tak melihat.”
“Sama artinya
Anda tidak mengelilingi Ka’bah sama sekali.” Lalu, “Ketika Sa’i, lari-lari
kecil antara Shafa dan Marwa, apakah Anda menyadari tentang hikmah, nilai, dan
tujuan jerih payah Anda?”
“Tidak.”
“Berarti Anda
tidak melakukan Sa’i.” “Saat Anda menyembelih hewan di lokasi pengurbanan,
apakah Anda juga mengurbankan nafsu keegoisan untuk menapaki jalan Allah?”
“Tidak. Saya
gagal memperhatikan hal itu, Imam.”
“Artinya, secara
faktual Anda tidak mengusahakan pengurbanan apa-apa.” “Lalu, ketika Anda
melempar Jumrah, apakah Anda bertekad membuang jauh kawan dan nafsu busukmu?”
“Tidak juga,
Imam.”
“Berarti Anda
sama sekali tidak melempar Jumrah.”
Dengan nada
menyesal, Imam Junaid menyergah, “Pergi, tunaikan haji lagi. Pikirkan dan
perhatikan seluruh kewajiban yang ada hingga haji Anda mirip dengan ibadah haji
Nabi Ibrahim, pemilik keyakinan dan kesungguhan hati sebagaimana ditegaskan
al-Qur’an:
“Wa ibrahima l-ladzi waffa. Dan Ibrahim yang telah menyempurnakan
janji.”
Sumber : duniaislam